Kadang aku ingin mengotopsi tubuh sendiri dan melihat bagaimana penampakan dan anatomi sebuah “perasaan”. Kenapa dia begitu rapuh hanya dengan suara yang bersumber dari lidah manusia, kenapa dia bisa segitu sakitnya hanya dengan membaca tulisan yang bersumber dari jempol manusia.
Nyatanya, punya akal, hati dan pikiran belum tentu jadi jaminan bahwa apa yang dikeluarkan dari tubuhnya baik berupa suara ataupun tingkah laku, mencerminkan manusia berakal. Usaha yang tidak dihargai, estetika alam yang diremehkan dan dianggap biasa bahkan tidak penting, ingin rasanya aku cabik2 dan berbalas kata dengan kata yang lebih kasar. Tapi akal sehatku menolaknya mentah2, menyadarkan bahwa aku manusia yang berbeda dengannya. Seburuk apapun dia, dia adalah dia dan sama sekali bukan aku.
Jika ada ratusan ribu orang yang menyukai, kenapa harus ada 1 duri yang menyakiti sanubari? Itulah kehidupan. Semoga bisa menjadi tambahan tabungan ladang kesabaran yang semakin luas dan tiada batas. Apapun yang menyakiti, semoga selalu bisa jadi cerminan diri.
Terimakasih pelajarannya.
Satu per satu mimpi mulai terwujud, dibayar dengan lelah dan air mata. Puncak Anjani sama sekali bukan suatu kemudahan. Bermuram durja, berlinang air mata, terseok seok di belasan langkah terakhir, mengutuk diri sendiri dengan ribuan pertanyaan “ngapain aku kesini?”, panorama surgawi di kanan kiri yang sudah tidak bisa mengurangi rasa lelah, angin yang mondar mandir tiada ampun memamerkan kekuasaannya, sahabat yang jatuh tergeletak satu per satu karena lelah dan sakit, dan senyum yang sudah tidak bisa tersungging di daratan keren tertinggi ini. Yang menambah jiwa kian berkecamuk adalah, kondisi puncak yang penuh sesak, foto pun harus mengantri. I hate it so much.
Dibalik semua itu, kami bangga pernah menginjakkan kaki di Puncak Rinjani, menjadi bagian dari Rinjani, menjadi manusia yang pernah dan akan selalu mencintai Rinjani. Terimakasih Lombok, terimakasih NTB.
Titik terberat dari sebuah memori, adalah saat 1 detik setelah manusia dipaksa untuk menyudahi sebuah perjalanan. Apalagi untuk sebuah perjalanan menyerupai 1 minggu. Segala hal masih terekam jelas dan enggan berpaling dari belakang. Jiwa yang kosong karena segala aktifitas terbaik direnggut oleh waktu. Realita yang memekikan seruan “heyy, wake up!”